Thursday, July 9, 2015

India The Sleeping Giant

Sleeping Giant : An Indian Football Story. Sebuah film dokumenter yang ditayangkan BBC menceritakan pengalaman dua pemain muda asal India menjalani latihan selama 6 pekan di klub Inggris, Queen Park Rangers. Shaun Fernandes dan Hussain Vahanvaty terpilih menjadi wakil India dari 1.700 pemain muda India yang berkompetisi di South Mumbai Football Challenge.




Mereka berdua merupakan salah satu perwakilan harapan sepakbola India untuk kembali bangkit setelah lama terbenam. Kalah popularitas oleh olahraga kriket yang berujung kepada permasalahan ekonomi klub dan sepakbola secara nasional dan (ini rasanya sama dengan negara kita, Indonesia) menurut salah satu narasumber di film dokumenter tersebut, sepakbola India sejak lama ditangani oleh orang - orang yang salah.

India merupakan wakil Asia pada Piala Dunia 1950 Brazil, runner up Piala Asia 1964, peraih medali emas Asian Games 1951 dan 1962 yang diadakan di Indonesia, medali perunggu Asian Games 1970. Setelah itu sudah. Pun mereka sebenarnya masih lebih beruntung dari Indonesia yang lama sekali tidak sekalipun mendapatkan trofi, setidaknya di Asia Selatan, India beberapa kali menjuarai SAFF Championship.

Negara dengan banyak penduduk tapi mencari sebelas pemain untuk membawa kejayaan sangat sulit sekali. Bukan hanya Indonesia yang mengalami ini tapi juga India. Saya masih ingat dari era 90an, bahkan sampai saat ini, hanya satu pemain India yang mencuat, terdengar namanya ke seantero Asia yaitu Baichung Bhutia. Pemain yang pernah bergabung dengan klub Bury Inggris. Setelah itu pesepakbola India tidak terlalu terdengar, entah saya kurang piknik.

Menurut analisa Gokhale Institute of Politics and Economics : The Rise and Fall of Indian Football, beberapa faktor kegagalan India adalah ketiadaan perencanaan yang baik, kurangnya pembinaan dan pengembangan pemain muda plus minim infrastruktur, dan juga yang sangat familiar dengan situasi Indonesia yaitu politik dibalik sepakbola. Periode jatuhnya sepakbola India dihitung sejak tahun 1964 sampai dengan sekarang.

Memang sejak tahun 1996, India mencoba bangkit (dari segi kompetisi) dengan I-League yang kemudian dikembangkan lagi pada tahun 2006. Namun kondisinya belum sesuai dengan harapan. Tahun kemarin Indian Super League diluncurkan, satu kompetisi dengan klub franchise bertujuan untuk menyaingi popularitas kriket.

Mengapa kriket perlu disaingi ketenarannya? karena hingga saat ini dukungan pemerintah disektor olahraga 90 % adalah kriket dan 10 % lainnya adalah sepakbola serta olahraga lainnya. Bukan hanya itu media pun lebih menyenangi pemberitaan kriket, perusahaan swasta lebih memilih menjalin kerjasama dengan klub kriket daripada klub sepakbola.

India kini tengah mencoba untuk bangkit kembali. Setidaknya dengan hadirnya beberapa akademi sepakbola milik Manchester United, Barcelona, Arsenal dan Liverpool yang mendidik pesepakbola usia 6 sampai dengan 18 tahun. Disisi lain, adanya tontonan sepakbola luar negeri, menciptakan fans - fans baru sepakbola yang saat ini dianggap sebagai satu gengsi tersendiri dan trendi. Jika Brazil memiliki para pemain yang muncul dari kawasan kumuh, Favela, dengan bertumbuhnya antusiasme terhadap sepakbola, kini muncul dari kawasan - kawasan kumuh, anak - anak yang begitu mencintai sepakbola.




Namun seberapa besar pun antusiasme jika tidak dikelola dengan baik maka sia - sia saja. India sudah menyiapkan dan menjalankan I-League U-19, mereka juga punya Subroto Cup untuk para pemain sepakbola U-17 dari sekolah - sekolah, juga B.C Roy Trophy kompetisi negara bagian level U-19. Bukan hanya itu mereka juga sudah memiliki women's championship. Pengembangan sepakbola tidak hanya dilakukan oleh All India Football Federation (AIFF) tetapi juga oleh organisasi setiap negara bagian seperti Western India Football Association yang mengelola 530 klub dalam struktur kompetisi yang mereka namakan Maharashtra.

Hanya saja masih terdapat kekurangan - kekurangan, seperti I-League sebagai liga tertinggi di India, masih sangat mengandalkan pemain asing sejak diluncurkan kembali pada tahun 2006 6 pemain Nigeria menjadi topskor kompetisi, baru Sunil Chetri pada musim 2013 - 2014 yang mampu masuk ke jajaran top skor itupun ia harus berbagi dengan Darryl Duffy (Skotlandia) dan Cornell Glenn(Trinidad and Tobago). 

Hal itu juga yang dirasakan oleh Hussain Vahanvaty diakhir wawancaranya pada film dokumenter tersebut,  Setelah 2 tahun, ia masih kebingungan bagaimana mengembangkan karirnya selepas menjalani 6 pekan di Inggris, bahkan ia menginginkan untuk menjadi sarjana teknik  dan bertekad menjalani kedua profesi.

India masih berjuang tapi sedikit demi sedikit mereka mulai berbenah. Indonesia? saling berebut untuk berperan melakukan pembenahan dan akhirnya saling berantem.

No comments:

Post a Comment