Wednesday, May 20, 2015

Sepakbola Yang Kacau

Sehari yang lalu, saya melihat sebuah postingan foto di grup Facebook yang memuat mantan pemain timnas U-23 dengan latar belakang atap plastik berangka rotan dengan sebuah papan yang bertuliskan "Ruang Ganti Pemain".

Bukan soal bagaimana si pemain mau ganti baju pada "ruang" yang hanya memiliki atap tanpa dinding dan dikerumuni fans - nya. Tetapi lebih ke soal logika sepakbola Indonesia yang sudah kacau.

Kacau bin semrawut. Bagaimana seorang pesepakbola nasional main di satu kompetisi amatir tingkat daerah atau yang lebih dikenal dengan nama "Tarkam". Amatir karena klub - klub yang bertanding biasanya hanya merupakan klub dari satu komunitas, satu kelurahan, satu kecamatan bahkan ada yang satu RW.

Kacaunya adalah logika yang tidak lagi mengedepankan pembinaan bahkan sampai ke tingkatan paling rendah sekalipun. Turnamen Tarkam seharusnya adalah pesta bagi para pemain amatir di satu daerah setelah lama berlatih dan hanya tanding ujicoba. Tetapi demi gengsi dan hiburan mereka harus rela jika kerja keras mereka berlatih atas nama hobi harus digantikan oleh para pemain dengan status profesional dan telah me-nasional.

Bukan sekali dua kali hal ini terjadi demi gengsi. Para pemilik klub dan pengusaha daerah yang menjadi sponsor rela untuk mengeluarkan dana jutaan demi mendatangkan para pemain profesional dengan kontrak pay per match dengan besaran ( kalo ga salah mulai dari 1 juta rupiah bahkan ada yang diatas 500 ribuan ).

Sepakbola tingkat bawah sudah dimasuki gejala asal ramai asal menghibur. Sisi entertain yang dikedepankan, mirip dengan mengundang penyanyi saja. Bukan hanya pemain lokal saja yang berani diundang, bahkan pemain asing pun mereka undang dengan sistem pay per match.

Logika sepakbola kita sudah terlalu mengedepankan gengsi belaka. Prestasi bisa diraih dengan kekuatan uang. Padahal ditingkatan bawah seharusnya pembinaan yang lebih dikedepankan. Masa sih tidak menghargai keringat para pemain yang terik atau hujan berlatih?. Itu tadi gengsi. Prestasi akan menghasilkan gengsi, nama seseorang akan terangkat hanya jalan menuju kesana diambil dengan singkat melupakan proses.

Kacaunya lagi PSSI tidak mengurusi ini padahal telah berlangsung bertahun - tahun. Salahnya lagi federasi sepakbola kita juga tidak mempunyai muara untuk para pemain lokal amatir. Padahal ini merupakan aset yang bisa dikelola jika saja PSSI mau mengurusi. Apakah karena hanya berstatuskan amatir sehingga PSSI abai terhadap fenomena ini??.

Logika sepakbola kita sudah kacau di tingkatan bawah. Bahkan untuk Piala Suratin saja, satu klub di satu kota mengganti sebelas pemain mereka yang sudah dilatih dan dibina berbulan - bulan, oleh para pemain bawaan pelatih yang didatangkan dari luar kota.

Jadi dimana letak pembinaan kalau begini?

No comments:

Post a Comment