Tuesday, June 30, 2015

Indonesia Butuh Petualang

Dedi Gusmawan tampil baik dalam 2 pertandingan Myanmar National League 2015 bersama klub barunya Zeyar Shwe Myay (dibaca zeja se mye). Kabar tersebut, meski baru sebatas berita tulisan karena setelah ngubek - ngubek Youtube dan nanya ke mbah google belum dapat video highlight penampilan Dedi ketika melawan Yadanarbon dan Rakhine United, terasa menyejukkan ditengah kobaran api perseteruan yang kini semakin membesar setelah KONI ikut menyiramkan bensin (entah premium atau pertamax) pada perselisihan ini.

Kemudian muncul lagi berita dari www.footballchannel.asia, tiga pemain timnas U-23 menerima undangan trial dari beberapa klub Jepang. Evan Dimas, Adam Alis, dan Hansamu Yama Pranata akan mengikuti jejak Andik Vermansyah, Syakir Sulaiman, Irfan Bachdim dan Stefano Lilipaly mengikuti trial di Jepang. Hanya Irfan Bachdim yang bertahan mendapatkan kontrak di Ventforet Kofu dan kali ini di Consadole Sapporo. Stefano Lilipaly hanya menjalani semusim bersama Consadole Sapporo.


Akhir tahun 2014 tiga pesepakbola muda juga pernah mengikuti trial bersama Jubilo Iwata U-18. Syamsir Alam, Gavin Kwan Adsit dan Ryuji Utomo. Gavin termasuk pesepakbola dengan jiwa petualang. Ia pernah bersama CFR Cluj Rumania, TSV Niendofer Jerman, sempat pula menjalani trial di FC Tokyo pertengahan 2014. Musim ini ia membela Mitra Kukar, sayang kompetisi keburu dibubarkan sebelum aksinya bisa dinikmati lebih jauh.

Petualang. Kata tersebut mengingatkan kepada sosok Arthur Irawan yang sedang bermain untuk Waasland-beveren Belgia. Mulai dari Lytham Town Inggris,  Espanyol B hingga Malaga B pernah pemuda ini jajal meskipun untuk ditimnas ia lebih sering gagal lolos seleksi.


Tiba - tiba saya jadi ingat tarkam. Bukanlah sebuah bentuk petualangan, meskipun seorang pemain berlevel nasional rela bermain dilapangan ala kadarnya dengan resiko cedera tinggi didaerah - daerah. Tarkam adalah sebuah bentuk penghasilan sampingan yang tengah naik daun digembar - gemborkan ditengah penghentian kompetisi resmi menjadi perlambang derita pemain karena mereka harus mengais pendapatan hingga ke pelosok, meskipun ketika kompetisi berjalan lancar musim - musim lalu pun banyak pemain ikutan tarkam bahkan ditengah kompetisi.

Pemain - pemain Indonesia masih belum banyak yang mempunyai pemikiran untuk bertualang. Kebanyakan hanya berpindah - pindah klub setiap musim Liga Indonesia berganti. Jika diurutkan para pemain yang pernah berkarir di luar negeri dari tahun 90an rasanya jumlahnya tidak akan mencapai 50 pemain.

Mereka yang berstatus pernah adalah Bima Sakti, Kurnia Sandi, Kurniawan Dwi Yulianto, Rochi Putiray, Elie Aiboy, Bambang Pamungkas, Budi Santoso, Ponaryo Astaman, Hamka Hamzah, Patrich Wanggai, Yandi Sofyan, Alfin Tuasalamony, Manahati Lestusen, Gavin Kwan Adsit, Victor Igbonefo, Stefano Lilipaly.

Mereka yang berstatus masih Irfan Bachdim, Sergio Van Dijk, Andik Vermansyah, Dedi Gusmawan, Greg Nwokolo, Arthur Irawan, Yussa Nugraha (Feyenoord C1).


Mungkin ada yang terlewat. Terutama para pemain naturalisasi yang memang tidak dimasukkan seperti Joey Suk, Ruben Wuarbanaran. 

Baru kemudian kita mendengar Ahmad Jufriyanto, M. Taufiq dan Dedi Kusnandar menyatakan ingin bermain diluar negeri ditengah kondisi sepakbola yang carut marut. Perlukah menunggu kompetisi dalam negeri dihentikan agar para pemain mempunyai jiwa petualang?

Lantas apa pentingnya mempunyai keinginan untuk bertualang ke negeri orang? Bukankah kita diajarkan istilah hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari hujan emas dinegeri orang? Mungkin kalau batunya batu akik ukuran cincin yang sekali jual harganya jutaan tentulah istilah ini bisa berlaku, tetapi ketika trend batu akik sudah sepi apakah masih berlaku? Karena para pemain lama dalam usaha batu pun klien nya kebanyakan dari luar negeri, nah lho!!.

Jika dilihat dari kacamata timnas, maka kebutuhan para pemain dengan jiwa petualang ini sangatlah tinggi. Sudah seringkali kita melihat mental bertanding timnas dengan kepala tertunduk ketika harus bertemu lawan bertubuh tinggi, garis wajah beda, dan warna kulit berbeda.

Sering juga kita mendengar bahwa kurikulum sepakbola Indonesia sudah ketinggalan. Pelatih timnas sering dipusingkan karena ketika pelatnas dilaksanakan hal yang seharusnya sudah tidak perlu dilatih lagi seperti skill menahan bola terpaksa dijadikan agenda latihan. Selama itu terdengar selama itu pula PSSI tidak memodernkan kurikulum sepakbola Indonesia. VO2 max pemain kita rendah dan selalu membuat pelatih timnas kewalahan, namun selama itu pula tidak ada gagasan untuk meningkatkan fisik dan stamina  pemain.

Infrastruktur sepakbola kita sudah tertinggal. Tidak semua pemain di Indonesia merasakan bermain dilapangan yang rata, rumput terawat, membuat bola mulus melaju. Verifikasi dilakukan setiap Liga Indonesia akan berlangsung tapi selama itu pula tidak ada perubahan berarti.

Gaji tidak lancar, bahkan terhutang berbulan - bulan tapi jarang ada pemain yang "bosan" dengan kondisi yang seperti dibiarkan terjadi bertahun - tahun ini.

Indonesia butuh para petualang untuk merubah keadaan. Setidaknya jika mereka sudah terbiasa bertanding, berkumpul dengan para pemain dari berbagai negara, tidak akan ada lagi kepala yang tertunduk dan kaki gemetar ketika bertanding melawan kesebelasan negara lain sehebat apapun mereka.

Apalagi dalam kondisi seperti ini, mumpung sanksi FIFA tidak menyentuh kepada nasib pemain, maka sebaiknya berlomba - lombalah bermain di luar negeri.  Jangan hanya puas mendapat reputasi pemain berbakat dirumah sendiri, tapi buktikan apakah mampu mendapatkan reputasi itu dinegara orang. Jika dengan motif ekonomi jangan hanya puas dibayar dengan Rupiah tapi rasakan juga dibayar dengan Dolar, Yen, Dinar dan lainnya.

Jadilah para petualang daripada menunggu tanpa kepastian. Jika pun semuanya kembali berjalan belum tentu ada perubahan.




No comments:

Post a Comment